Selasa, 22 Januari 2008

Potensi Laut dan Pesisir Teluk Parepare

POTENSI LAUT DAN PESISIR TELUK PAREPARE

I. PENDAHULUAN

Pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan, yang saat ini mendapat prioritas yang cukup besar dan menjadi bagian dari orientasi kebijaksanaan pembangunan nasional dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang tangguh. Pengelolaan wilayah pesisir adalah sesuatu hal yang sangat kompleks. Beragam kepentingan dan kegiatan di wilayah pesisir mendorong terciptanya kompetisi antara pelaku pemanfaatan sumber daya pesisir.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota.

Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Laut merupakan sumber dari “common property resources” (sumber daya milik bersama), sehingga kawasan laut memiliki fungsi publik/kepentingan umum.

b. Laut merupakan “open access regime”, sehingga memungkinkan siapapun memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan.

c. Laut bersifat “fluida”, dimana sumber daya (biota laut) tidak dapat disekat/dikapling.

d. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang relatif mudah dikembangkan.

e. Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam, baik yang terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Kemudian sejalan dengan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka Pemerintah Kota Parepare harus dapat mengelola dengan baik wilayah laut dan pesisir teluk Parepare karena memiliki nilai-nilai strategis berupa potensi sumber daya laut dan jasa-jasa lingkungan yang sangat rentan terhadap berbagai perubahan akibat pembangunan. Oleh karena itu, pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir perlu diatur secara terencana dan berkelanjutan (sustainable), dimana dituntut keterpaduan pengelolaan sumber daya laut tersebut dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan ekonomi (fungsi ekonomis) dan perlindungan kualitas lingkungan (fungsi ekologis).

leksitasangunan nasional dalam m

II. KONDISI UMUM LAUT DAN PESISIR TELUK PAREPARE

1. KONDISI BIO-GEOFISIK

- Luas perairan teluk Parepare adalah 2.778 Ha dengan panjang pesisir teluk Parepare 34 km, dimulai dari wilayah pesisir Kota Parepare yang berbatasan dengan Kabupaten Barru sampai dengan wilayah pesisir Ujung Lero Kecamatan Suppa.

- Berdasarkan peta penutupan lahan untuk wilayah pesisir Teluk Parepare, terdapat 7 (tujuh) jenis penutupan lahan dominan, yaitu pemukiman, tambak, kebun campuran, sawah, mangrove, hutan, dan terumbu karang.

- Terdapat lokasi estuaria yang merupakan pertemuan aliran sungai Karajae dengan pantai, yang mana memiliki potensi terjadinya sedimentasi (pendangkalan) dan delta pada wilayah pesisir dan muara.

- Kedalaman air laut berada pada kisaran 0,75 meter dbl, bagian utara yang dangkal dengan kedalaman <> 20 meter pada posisi tengahnya.

2. KONDISI SOSIAL EKONOMI

- Banyaknya Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kota Parepare yaitu 540 RTP untuk perikanan laut, dan 63 RTP untuk perikanan darat yang tersebar di tiga kecamatan.

- Luas areal Budidaya Tambak di Kota Parepare sebesar 75,80 Ha dengan pengelolaan secara semi-intensif sebanyak 72,50 % dan pengelolaan secara tradisional sebanyak 27,50 %.

- Jumlah Bagan Tancap yang ditempatkan tersebar di sekitar Teluk Parepare sebanyak ± 200 buah. Bagan tancap tersebut lebih banyak beroperasi di sekitar bagian dalam Teluk Parepare.

- Perikanan laut dan perikanan tangkap di Kota Parepare umumnya masih dilakukan oleh nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap jenis pancing, jaring, bagan tancap, dan pukat.

3. KONDISI PEMANFAATAN RUANG

- Pemanfaatan ruang untuk usaha Budidaya Tambak terdapat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Karajae dan sekitarnya.

- Pemanfaatan ruang untuk kegiatan Konservasi (penanaman dan pemeliharaan) pohon bakau (mangrove) di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Karajae dan sekitarnya serta dekat perbatasan Kota Parepare dan Kabupaten Pinrang.

- Pemanfaatan ruang untuk aktifitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) terdapat di beberapa tempat, antara lain di TPI Sumpang Minangae, Labukkang, Lakessi dan Cempae.

- Pemanfaatan ruang untuk Obyek Wisata Permandian Alam Pantai Lumpue dan Sumur Jodoh Cempae.

- Pemanfaatan ruang untuk lahan permukiman dan perkantoran.

- Pemanfaatan ruang untuk pelabuhan Nusantara dan pelabuhan rakyat serta pelabuhan khusus untuk bongkar muat minyak.

- Pemanfaatan ruang untuk industri pembuatan kapal rakyat.

- Pemanfaatan ruang untuk industri pengeringan ikan.

III. KONSERVASI VERSUS EKSPLOITASI

1. PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN MANGROVE

Disekitar pesisir Teluk Parepare bagian utara pada umumnya ditumbuhi oleh hutan mangrove, baik yang termasuk ke dalam wilayah Kota Parepare maupun yang termasuk wilayah Kabupaten Pinrang, sedangkan pada bagian selatan Teluk Parepare hutan mangrove hanya ditemukan disekitar wilayah pesisir perbatasan Kabupaten Barru hingga di sekitar daerah obyek wisata Lumpue, dan sekitar bagian hilir dan muara Sungai Karajae.

Kelangsungan hutan Mangrove di teluk Parepare telah terancam, hal ini disebabkan tidak sinkronnya antara kegiatan eksploitasi dengan kegiatan konservasi di wilayah teluk Parepare. Berbagai aktivitas yang mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung habitat mangrove, telah menampakkan penurunan ekosistem dan pengurangan/pengikisan lahan mangrove. Secara umum hutan mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan, namun demikian mangrove tersebut sangat peka terhadap pengendapan atau sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, hasil pencucian rumah tangga, tumpahan minyak, dan sirkulasi air di perairan (Dahuri, dkk. 1996)

Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap hutan mangrove, bersumber dari keinginan manusia mengkonversi area hutan mangrove menjadi areal pengembangan tambak, kegiatan-kegiatan komersial, serta kegiatan reklamasi. Walaupun luas keseluruhan hutan mangrove di wilayah pesisir Teluk Parepare sangat kecil, namun cukup mempengaruhi keseimbangan lingkungan perairan di teluk Parepare. Apabila sikap yang terlalu antroposentrik (menempatkan kebutuhan manusia diatas segalanya) dengan tidak mempertimbangkan keseimbangan alam, maka lambat laun akan “meracuni” kelangsungan hidup bagi semua biota laut di masa akan datang.

Untuk mengantisipasi permasalahan di atas, maka dilaksanakan kegiatan pemeliharaan dan penanaman baru hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, LSM). Akan tetapi program tersebut menampakkan gejala-gejala kegagalan akibat ketidaksinkronan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di wilayah pesisir. Pada tahun 2002 melalui dana APBD Kota Parepare, Bapedalda memprogramkan kegiatan penanaman hutan mangrove sebanyak 300 pohon di Lumpue dan 200 pohon di Cempae, namun yang mampu hidup/tumbuh sampai sekarang hanya sekitar 30 % di daerah Lumpue sedangkan di daerah Cempae semuanya mati.ta tahun 2002 melalui dana APBD Kota Parepare, Bapedalda memprogramkan kegsungai Karajae) dengan tidak mempertimbangkanangan li

Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan penanaman mangrove di wilayah pesisir Teluk Parepare, antara lain :

a. Lokasi penanaman tepat berada di areal penangkapan ikan dengan menggunakan bagan tancap, sehingga mengganggu lalu lalang perahu nelayan,

b. Ketidakpaduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah pesisir antar tiap instansi terkait, dimana Bapedalda telah memprogramkan penanaman dan pemeliharaan hutan mangrove, terancam tidak akan berhasil dikarenakan Dinas PU dan Praswil telah membuat tanggul pengaman pantai yang berada tepat di depan hutan mangrove, sehingga hutan mangrove tersebut terancam punah karena habitatnya terhalang oleh tanggul tadi.

c. Kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat akan pentingnya pemeliharaan hutan mangrove disekitar pesisir pantai.

2. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENCEMARAN

Pencemaran perairan Teluk Parepare umumnya bersumber dari limbah domestik perkotaan dan pemukiman, perdagangan, hotel, rumah sakit, industri dan restoran, baik yang langsung dibuang ke pantai berupa sampah padat maupun tidak langsung melalui saluran drainase sehingga kondisi kualitas lingkungan hidup di sekitar teluk Parepare akan menyebabkan penurunan kualitas air laut dan akhirnya akan mengganggu kehidupan biota laut. Selain itu berdampak pula pada berkurangnya nilai estetika pantai.

Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Kota Parepare dalam hal ini Bapedalda Kota Parepare melaksanakan program pembuatan ram-ram penangkap/pengaman sampah yang ditempatkan di mulut-mulut saluran drainase yang langsung menuju pantai. Untuk penanganan sedimentasi di mulut-mulut saluran drainase dibuatkan perangkap sedimen (sediment trap). Program penanganan pencemaran juga dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Parepare dengan melaksanakan penyuluhan dan sosialisasi tentang kebersihan dan keindahan pantai kepada masyarakat di sekitar pesisir pantai.

3. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEDIMENTASI

Sedimentasi (proses pendangkalan) yang terjadi di sepanjang wilayah pesisir teluk Parepare dan sekitar muara sungai Karajae adalah bersumber dari bahan-bahan terangkut dari sungai Karajae. Penyebab utama pendangkalan karena adanya kegiatan-kegiatan eksploitasi di daerah hulu dan hilir sungai Karajae yaitu kegiatan penambangan galian golongan C, selain itu juga sedimentasi terjadi karena adanya limbah domestik yang mengalir melalui saluran-saluran drainase kota yang membawa sedimen.

Ini akan berdampak negatif pada perubahan komponen lingkungan biotik, antara lain bahan-bahan sedimen tadi dapat menutupi karang, lamun dan rumput laut sehingga akan menyebabkan kematian biota laut tersebut. Selain itu proses sedimentasi juga dapat menyebabkan peningkatan kekeruhan perairan dan mengurangi kedalaman perairan.

Upaya-upaya konservatif yang dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi tersebut antara lain dengan jalan :

a. Pembuatan tanggul dan sand pocket

b. Pengaturan pola tanam di DAS Karajae

c. Pemulihan DAS Karajae

d. Pembuatan sediment trap

e. Pengerukan sedimen

IV. PEMANFAATAN LAUT DAN PESISIR TELUK PAREPARE

Bentuk pemanfaatan wilayah laut dan pesisir teluk Parepare untuk kondisi saat ini, antara lain :

1. Perikanan Tangkap

Perikanan laut dan perikanan tangkap di Kota Parepare umumnya masih dilakukan oleh nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap jenis pancing, jaring, bagan tancap, dan pukat. Banyaknya Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kota Parepare yaitu 540 RTP untuk perikanan laut, dan 63 RTP untuk perikanan darat.

2. Budidaya Tambak

Pemanfaatan wilayah pesisir teluk Parepare, khususnya disekitar muara Sungai Karajae dimanfaatkan sebagai areal Budidaya Tambak. Luas areal Budidaya Tambak di Kota Parepare sebesar 75,80 Ha dengan pengelolaan secara semi-intensif sebanyak 72,50 % dan pengelolaan secara tradisional sebanyak 27,50 %.

3. Kepariwisataan

Ada dua kawasan pariwisata yang ada di Kota Parepare, yaitu Obyek Wisata Pantai Lumpue sebagai kawasan permandian alam serta Obyek Wisata Sumur Jodoh Cempae yang oleh warga sekitar dipercaya sebagai tempat untuk memohon jodoh.

4. Kepelabuhanan

Parepare dikenal sebagai kota Bandar Madani, dikarenakan terdapat beberapa pelabuhan sesuai dengan fungsinya masing-masing, antara lain :

- Pelabuhan Nusantara Parepare, yang melayani rute pelayaran domestik, regional dan internasional, serta berfungsi sebagai pelabuhan bongkar muat container.

- Pelabuhan Rakyat Lontangge dan Cappa Ujung, merupakan pelabuhan kapal domestik yang melayani rute antar pulau khususnya ke Pulau Kalimantan.

- Pelabuhan Khusus Pertamina, yaitu pelabuhan yang difungsikan untuk bongkar muat bahan bakar minyak.

5. Kegiatan Konservasi

Kegiatan pemeliharaan dan penanaman baru hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, LSM). Melalui dana APBD Kota Parepare, Bapedalda memprogramkan kegiatan penanaman hutan mangrove sebanyak 500 pohon untuk ditanami disepanjang pesisir pantai khususnya di daerah aliran sungai Karajae, namun sayangnya mangrove yang mampu hidup/tumbuh sampai sekarang hanya sekitar 30 %.

6. Tempat Pelelangan Ikan (TPI)

Untuk memudahkan akses pemasaran hasil-hasil tangkapan ikan dari para nelayan, maka Pemerintah Kota Parepare membangun beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pangkalan pendaratan ikan, antara lain di TPI Sumpang Minangae, Labukkang, Lakessi dan Cempae.

7. Reklamasi Pantai

Reklamasi pantai di sepanjang pesisir pantai Mattirotasi dan Pantai Senggol. Khusus disekitar pantai Mattirotasi dibangun tempat rekreasi bermain anak-anak. Pantai didesain sedemikian rupa sehingga terlihat asri dan menjadi ciri khas tersendiri bagi kota Parepare.

8. Pembangunan Kilang Minyak

Rencana pembangunan proyek pemurnian minyak (refinery) di Kota Parepare beralokasi di Kecamatan Bacukiki memanfaatkan lahan sekitar 1.000 ha, dengan kapasitas 300 – 400 ribu barel per hari dan rencananya akan berproduksi mulai tahun 2010. Untuk membiayai proyek ini, perusahaan PT. Intanjaya telah menjalin kerjasama (joint venture) dengan Inter Global Technologies (IGT) dari Texas Amerika serikat.

Pembangunan Kilang Minyak ini bukan merupakan proyek eksploitasi atau eksplorasi minyak di Parepare, melainkan hanya untuk memurnikan minyak asal Arab Saudi kemudian di pasarkan ke kawasan Asia Tenggara. Pemilihan Kota Parepare sebagai daerah untuk pembangunan kilang minyak tersebut atas dasar faktor geografis, disebabkan dekat dengan Selat Makassar, sehingga bisa menjadi titik penghubung dengan wilayah lain di tingkat nasional dan regional. Disamping itu infrastruktur serta iklim investasi di Kota Parepare sudah memadai serta tersedianya pelabuhan yang memungkinkan kapal-kapal tanker raksasa dengan kapasitas 250 ribu kiloliter bersandar.

Sedangkan mengenai dampak terhadap lingkungan, PT. Intanjaya telah bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin Makassar untuk melakukan kajian-kajian lingkungan. Tim Amdal Unhas menitikberatkan perhatian pada masalah sosial kemasyarakatan, penurunan kualitas ekosistem udara, penurunan kualitas ekosistem sungai dan perairan laut, gangguan aksesibilitas darat dan perairan serta peningkatan perekonomian daerah dan lokal.

V. PENUTUP

1. KESIMPULAN

Sekarang ini kondisi perairan Teluk Parepare mengalami penurunan yang sangat berarti sehingga sulit dipertahankan lagi sebagai suatu daerah penangkapan ikan yang produktif. Penurunan kualitas ekosistem ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu :

a. Penurunan luas areal hutan mangrove di Teluk Parepare disebabkan karena banyak areal hutan mangrove dikonversi menjadi lahan tambak dan kegiatan eksploitasi lainnya.

b. Peningkatan jumlah pencemaran perairan Teluk Parepare akibat dari aktivitas limbah industri dan sampah rumah tangga, aktivitas pelabuhan, aktivitas bongkar muat bahan bakar PT Pertamina, serta sedimentasi dari Sungai Karajae.

Secara garis besar, pemanfaatan wilayah laut dan pesisir teluk Parepare, antara lain untuk:

a. Kegiatan eksploitasi sumber daya alam (perikanan tangkap dan budidaya tambak)

b. Kegiatan dalam bentuk jasa-jasa lingkungan (kepelabuhanan dan pariwisata)

c. Kegiatan dunia usaha (Tempat Pelelangan Ikan dan Pangkalan Pendaratan Ikan)

d. Kegiatan konservasi (penanaman mangrove sepanjang DAS dan sekitar wilayah pertambakan)

e. Kegiatan industri (rencana pembangunan proyek pemurnian minyak / kilang minyak)

2. REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisa pemanfaatan wilayah laut dan pesisir teluk Parepare, maka penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :

a. Eksplorasi dan Eksploitasi sumber daya kelautan dan pesisir di wilayah teluk Parepare harus tetap mengedepankan fungsi ekologis dari biota laut. Harus ada payung hukum yang jelas terhadap segala bentuk eksplorasi dan eksploitasi lingkungan tersebut.

b. Program konservasi laut dan pesisir perlu lebih ditingkatkan, seperti penanaman kembali mangrove serta pencegahan sedimentasi yang dapat menutupi terumbu karang dan padang lamun.

c. Perlu ada sosialisasi ke masyarakat tentang manfaat pelestarian lingkungan laut dan pesisir, serta bahaya yang dapat ditimbulkan jika membabat hutan mangrove. Akan lebih baik lagi jika membangun kelompok-kelompok tani untuk diberdayakan dan atau atas inisiatif sendiri menanam mangrove di sekitar wilayah pesisir masing-masing.

1 komentar:

uwaisalqarny mengatakan...

web baru nih ye